Part 1: Aku juga punya mimpi


Sajadah telah tergelar, doa sujud terakhir selalu terucap.. Pada akhirnya,  salam mengakhiri sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan kepada Sang Pencipta.. 

Usai bermunajat kepada Allah.. Entah angin apa yang membuat ku kembali merenungi setiap episode perjalanan.. Terkenang akan semua masa lalu yang mewarnai rotasi kehidupan.. 

22 tahun sekarang. Dan menghitung minggu menuju 23 tahun. Bukan usia yang terbilang muda lagi. Sudah dewasa. Sudah mengecap manis pahit hidup ini. 

4 tahun yang lalu,

Aku baru menerima surat kelulusan. Alhamdulillah 3 tahun sudah berlalu di masa putih abu-abu. Ayah menjemput ku langsung. Tiada waktu untuk coret mencoret pakaian putih abu-abu atau konvoi seperti teman-teman yang lain. 

Setelah menyelesaikan urusan ke suatu tempat, akhirnya aku dan Ayah langsung pulang. Membawa kavar gembira kepada Ibu, Abang, dan Adek-adek..

"Makk..aku lulus!!!", antusias ku memanggil Amak sepulangnya. Wajah bahagia nan penuh sumringah terpancarkan. Beliau menyambut kepulanganku dengan sumringah pula.

Esok lusa, fikiran mulai berfikir keras. Kemana langkah selanjutnya.

"Nanti kamu kerja di desa sebelah aja ya, Naf. Di koperasi. Nanti Mamang coba hubungi dulu teman Mamang", Mamang yang masih kerabat menawarkan pekerjaan kepadaku.

"Nanti Nafla tinggal sama Ibuk juga nggak apa-apa ya.. Kayak Ayuk A yang dulu juga tinggal sama Ibuk. Nanti kuliah di UT aja. Kan kuliah nya hari Sabtu dan Minggu. Nah, selain hari itu, nanti Nafla bisa bekerja", Salah seorang guru yang sekaligus wali kelas yang sudah seperti Ibu sendiri pun menawarkan pilihan. 

Namun tidak lama setelah hari kelulusan, sepulang dari bertandang ke rumah Bibi, aku melihat rumah rame. Keluarga sedang berkumpul. Dan ada 1 Paman yang juga masih kerabat disana.

"Assalamu'alaikum", aku memberi salam.

Mereka menjawab salamku, dan semua mata tertuju kepadaku.

Aku diperintahkan untuk duduk. Aku mendengar semua yang disampaikan. Aku menahan tangis. Mereka semua menunggu jawabanku. Namun aku tak menjawab. Aku bahkan pamit untuk pergi lagi ke rumah Bibi. Aku tak tau harus minta dukungan kepada siapa. Bahkan aku tak tau apa yang harus ku jawab atas pertanyaan mereka di ruang tamu sana.

Beberapa hari kemudian  sepupu ku pulang dari Kota. Menceritakan tentang perkuliahannya yang gratis. bebas SPP. Dan kita hanya bayar uang registrasi saja. Aku begitu antusias mendengarnya. Begitu semangat. Terbayang oleh ku kehidupan di kota yang jauh dari desa. Kuliah tak pakai seragam lagi. Bebas... Terbayang oleh ku anak-anak kuliahan seperti yang sering ku lihat di layar Televisi.

"Nanti biar Ayuk yang urus semuanya, kamu tinggal terima beres. Tinggal masuk kuliah saja", dia kembali memberi ku semangat.

Dia berusaha menjelaskan kepada keluarga ku. Pada orang tua. Terkadang mereka mengangguk tanda setuju. Terkadang diam. Ntah apa yang ada di dalam fikiran mereka. Mungkin yang ada di bayangan mereka adalah seberapa banyak pundi-pundi rupiah yang akan mereka keluarkan untuk kuliahku nanti apabila benar kuliah. 

Aku tau fikiran dan beban Amak lebih banyak ketimbang Ayah. Bahkan yang tak pernah terfikirkan oleh Ayah sekalipun akan difikirkan oleh Amak.

Hari-hari berlalu seperti biasa.  Aku sudah memantapkan hati untuk kuliah ke kota sesuai anjuran sepupu.  Namun hati orang tua masih sangat ragu.  Apalagi mereka sudah mempunyai pilihan sendiri untukku dan telah aku tolak. Aku sangat yakin mereka menyesali keputusanku. 

Saat itu aku tak pernah terfikirkan untuk membangkang perkataan orang tua.  Untuk tak menuruti nasehat orang tua.  Yang kufikir adalah bagaimana aku bisa mengangkat derajat mereka.  Salah satu di keluarga kita harus ada yang "Jadi Sarjana". Ntah darimana berawal, keinginan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi itu telah terpatri lama di hati. Dan itu harus dimulai dengan aku.  Aku punya tekad yang kuat untuk itu. 

Namun saat hati sudah mantap,  Kakak kedua Ibu yang tinggal di desa sebelah bertandang ke rumah.  Ngobrol banyak hal hingga membahas tentang rencana kuliahku. 

"Sudahlahhh... Besar biaya kuliah itu. Amak dan Ayahmu takkan sanggup membiayai kamu", beliau dengan teganya mematahkan semangat ku. 

Aku berusaha menjelaskan sebisa ku. Meminta dukungan dan membangun kepercayaan dari orang tua. Walau sungguh,  aku sendiri sudah bisa menebak dari raut wajah orang tua. Dan pada akhirnya aku terdiam bungkam.  Menolak dalam hati setiap perkataan Paman.  Tega sekali beliau berkata seperti itu. Apakah menurutnya aku tak pantas mengecap bangku kuliah?  Apakah dia fikir orang tua ku takkan sanggup membiayai kuliahku?  Ku akui aku dan keluarga orang tak mampu. Tapi bukankah mimpi berhak dimiliki oleh setiap orang? Aku juga punya mimpi. Anaknya juga kuliah dengan biaya yang tak sedikit. Tanpa beasiswa. 

Setelah pembicaraan selesai, aku memilih untuk tidak di rumah.  Sedih sudah pasti.  Semangat ku pasang surut.  Sepertinya mimpi ku untuk kuliah kandas sudah. 

Selang beberapa hari,  Kakak Sepupu lelakiku datang main ke rumah bersama anak dan istrinya. Aku mengobrol dan bercanda bersama mereka.  Kakak menatapku dengan dalam. 

"Jangan Iba hati ya, Dek, kalau kamu nggak kuliah.  Kita harus maklum akan keadaan keluarga kita". Ucapnya sayup.  Namun terdengar begitu jelas. 

Aku tak menjawab.  Tak bergeming.  Namun air mataku jatuh perlahan. Ingin ku sembunyikan namun aku tak mampu.  Mukaku telah memerah. Begitu sedih dan terpukul. 

Sepertinya aku akan mengubur mimpiku mulai dari sekarang.  Mungkin aku akan mengikuti kemauan Ibu.  Mungkin aku akan mengiyakan apa yang telah dimusyawarahkan keluarga di ruang tamu tempo hari. 

Bersambung.... 

12 komentar

  1. Setiap orang berhak punya mimpi,seorang mentor saya pernah mengatakan; catat dan ikrarkan mimpimu, jika perlu di depan banyak orang, agar kita malu jika mimpi itu tak terwujud, sehingganya kita lebih giat untuk menggapai mimpi.

    BalasHapus
  2. Terkadang hidup memang tidak sesederhana itu ya, banyak yang terlibat dan keputusan kadang berdasarkan kemauan bersama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak . Kdang org lain berperan dlm khdupan kta .

      Hapus
  3. Ini lagi coba buat novel apa pengalaman pribadi?.. kwkw... gantungkan mimpimu setinggi lagit karena mimpi adalah doa dan setiap doa yang keluar dari dalam hati yang terdalam Insha Allah di Ijabah oleh Allah cuma jalannya memang terkadang berliku, jalani apa yang ada sambil terus berusaha jangan ada yang tersakiti, Insha Allah kita akan sampai kepada mimpi kita yakin dan terus berusaha semngat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba2 buat cerbung bunda. Sapa tau ntar jd novel .Hihi

      Hapus
  4. cerita nya menyentuh. Semoga endingnya bahagia yaa.. tak sabar menunggu cerita selanjutnya.

    BalasHapus
  5. Aku juga pengen punya mimpi... tapi kehidupan begitu sulit.

    BalasHapus
  6. Keep it up neng, lanjut part berikutnyaa

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar yang baik-baik ya teman-teman. :-)

I'm Part Of:

I'm Part Of: