“Kita telah berjuang, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!” Tandas Nyai Ontosoroh.
Assalamu’alaikum teman-teman, apakah kalian salah satu
pecinta film lokal? pecinta film karya anak Bangsa? Nah, itu tadi adalah salah
satu cuplikan di ending film Bumi Manusia yang akhir-akhir ini menghiasi
bioskop tanah air. Sebuah film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang
diadaptasi dari sebuah Novel Legendaris karya
Pramoedya Ananta Toer.
Tak lama setelah aku selesai membaca novel Bumi Manusia, trailer dari
film ini pun keluar. Tentunya aku excited donk. Penasaran gimana filmnya.
Apakah sama dengan novelnya atau ada yang berbeda. Karena di novel ada beberapa hal yang
tidak aku fahami alur ceritanya, maka aku
berharap banget di film ini semua menjadi lebih jelas. Namun tetap saja, sebuah
film yang diadaptasi dari sebuah novel, jauh lebih keren dan lebih detail kisah
yang ada di dalam novel. Namun untuk film Bumi Manusia ini, barangkali aku
lebih merasakan bagaimana fell dari masing-masing tokoh karena peran yang
dimainkan dengan penuh ekspresi dan penghayatan.
Cerita berawal dari Minke (Iqbal Ramadhan) yang diajak oleh
salah satu temannya di sekolah HBS ke rumah Annelies Mallema (Mawar Eva de
Jongh). HBS Yaitu sekolah bergengsi pada zaman kolonial dan hanya orang-orang
eropa atau orang pribumi anak pejabat saja yang boleh sekolah disana.
Minke
adalah pemuda yang modern atau gaul pada masanya. Teman Minke ini bernama
Suurhof yang juga merupakan temannya Robert Mallema (Giorgio Abraham). Kakak
Annelies. Di rumah itulah Minke bertemu dengan Annelies yang begitu cantik dan
ia langsung jatuh hati. Begitu juga yang dirasakan oleh Annelies.
Kekaguman yang dirasakan oleh Minke terhadap penghuni rumah
itu, makin menjadi setelah ia berkenalan dengan Nyai Ontosoroh (Sha Ine
Febriyanti). Mama Annelies. Kekaguman itu disebabkan karena Nyai Ontosoroh
adalah seorang wanita yang cerdas. Mampu mengelola perusahaan keluarganya
menjadi besar padahal ia tidak pernah sekolah. Bahkan Nyai Ontosoroh adalah
seorang Gundik. Nyai pada masa itu merupakan panggilan bagi wanita yang dinikahkan
secara tidak sah oleh orang Eropa sebagai wanita simpanan. Nyai Ontosoroh
berbeda dari Nyai kebanyakan. Ia juga bisa berbahasa Belanda
Lalu cerita berlanjut ke yang kompleks dimana saat Minke sudah
pulang ke rumah, Nyai meminta Minke untuk kembali lagi dan menetap di rumahnya.
Karena Annelies yang sakit dan tiada obat lain selain Minke. Ia ingin Minke
selalu ada dirumahnya. Minke menyanggupi permintaan Mama Annelies.
Hal yang tak diinginkan terjadi. Akibat Minke yang bebas
keluar masuk kamar Annelies untuk menghiburnya yang sakit, disanalah Minke dan
Annelies melakukan suatu hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Mama Annelies
melihat anaknya dan Minke tidur berdua di atas ranjang. Namun ia tidak marah. Bahkan
mendukung keduanya. Dan disini saya mengkritik film ini atau tepatnya Novel
Bumi Manusia. Karena di novel pun Mama Annelies menyetujui hubungan mereka. Saya
mengkritik Mama Annelies yang begitu membebaskan anaknya bahkan melakukan
hubungan di luar batas.
Sebenarnya jika menilik kepada alasan mengapa ia memberikan
kebebasan kepada anaknya, mungkin dibenarkan dalam pandangan Mama Annelies. Ia tidak
ingin anaknya merasakan seperti yang ia rasakan saat masih gadis dahulu. Menjadi
gadis yang dijual oleh ayahnya demi beberapa gulden emas dan Jabatan. Ya! Papa
Annelies lah yang telah memberi Mama Annelies pada waktu itu. Ia ingin anaknya menikah dengan lelaki yang dicintainya. Di film ini
dijelaskan secara gamblang bagaimana perlakuan Papa Annelies (Tn. Herman
Mallema) kepada Sanikem (Nama gadis Nyai Ontosoroh) di awal-awal menjadi simpanan. Dari awalnya ia baik, lalu
berubah drastis sehingga keluarga itu menjadi tidak harmonis lagi.
Baca juga: Review Buku: Novel Bumi Manusia
Baca juga: Review Film Gading
Baca juga: Review Buku: Novel Bumi Manusia
Baca juga: Review Film Gading
Well.. masalah kian komplit saat Minke tau apa yang telah
terjadi pada Annelies. Pada Kakaknya Robert Mallema. Namun pada akhirnya mereka
pun menikah secara agama. Hidup mereka berdua sejenak bahagia. Namun lagi-lagi
masalah datang saat ternyata pada masa kolonial, bukanlah hukum Islam yang
berlaku. Namun hukum Eropa. Menurut hukum Eropa, pernikahan Minke dan Annelies
tidak sah. Status Annelies masih tetap gadis dan ia punya wali di Netherland
(Belanda). Keluarga dari istri pertama Papanya. Annelies harus dikirimkan ke Belanda menemui walinya disana. Nyai Ontosoroh tidak punya hak asuh atas anak-anaknya. Baik Annelies maupun Robert. Kasus ini menjadi hal yang pelik di persidangan. Nyai membela mati-matian Annelies. Mempertahankan Annelies. Namun tetap saja ia kalah dan harus mengikhlaskan anaknya pergi.
Bukan hanya itu, Nyai juga kehilangan kekayaan dari peninggalan Herman. ia tidak berhak seluruh harta kekayaan karena statusnya yang bukan istri sah.
Aku mungkin tidak bisa lagi menjelaskn secara detail
bagaimana alur dalam film ini karena dikhawatirkan nanti menyebabkan spoiler. Namun
berbagai masalah terjadi dalam film ini. banyak kritik sosial pada masa masa kolonial.
Bagaimana lemahnya Hukum Islam pada masa itu, bagaimana lemahnya status
sebagai seorang Gundik, dan banyak lagi.
Saya secara pribadi suka dengan film ini. namun apabila
ditanya apakah film ini membuat saya merasa “Wahh?”. Maka saya jawabnya tidak
juga. Karena bagi saya yang sudah membaca novelnya, menonton film ini malah
membanding-bandingkannya dengan novel. Mencari kelebihan yang tidak ada di
novel, pun mencari kekurangan yang di novelnya lebih bagus.
Dan bagi kalian yang mencintai sejarah atau pengen belajar
sejarah, film ini sangat rekomended. Dan rekomended juga bagi yang sudah
membaca novelnya. Karena Novel tersebut agak berat jadi lebih dikuatkan lagi
dengan film ini. Namun bagi kalian yang belum pernah membaca novelnya, maka saya
rasa akan ada beberapa alur yang membuat kalian bingung. Seperti yang dialami
oleh teman nonton saya. “Koq bisa begini? Koq bisa begitu? Dia itu siapa? dll”.
Mengenai Tokoh dalam film ini, sebenarnya aku kurang srek dengan Iqbal Ramadhan. Menurut ku itu kurang cocok. karena yang terbayang olehku di dalam novelnya, seorang Minke adalah sosok pria dewasa tulen Jawa. Padahal bisa dicari pemeran lain yang lebih pas menurut aku. Mungkin karena Iqbal yang sukses dalam berbagai peran salah satunya adalah peran Dilan, maka ia pun dilirik. yaa namanya juga bisnis. Tentu mencari sosok yang menjadi primadona masyarakat dalam menggaet penonton. Selain dari itu, semua pemeran sudah cocok dan keren dalam bermain peran.
Ada juga berbagai adegan lucu disini yang membuat satu
studio terbahak. Namun ending yang menyedihkan membuat kami menjatuhkan air
mata. Belum lagi lirik soundtrack Ku lihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati
yang dinyanyikan oleh Iwan Fals, Once, dan Fiersa besari menambahkan kesyahduan
ending film.
Malangnya negeri ku pada masa itu. memberi pelajaran bahwa Negara yang
susah payah dimerdekakan dari perbudakan, penjajahan, dan rendahnya masyarakat
pribumi pada masa itu jangan sampai terulang lagi. Kita harus mempertahankan
kemerdekaan ini hidup mati.
Okay, berhubung filmnya masih tayang, kuy nonton bareng
teman kalian. Ternyata peminat film memang banyak ya. Karena kami saja yang
nontonnya di hari senin siang, bioskopnya rame. Apalagi di hari weekend. Belum lagi
masih dalam suasana kemerdekaan RI. Pas banget.
Udah lama banget pengen baca novelnya, tapi gak jadi2, eh ini malah udah baca review filmnya duluan. Aku kn jadi bingung, novel dulu film dulu novel dulu film dulu.. Bingoooonngg..
BalasHapusHahha . Nnton aja dlu mbak.. Mumpung lg tayang
Hapus