Keluarga Pak Iwan

“Shodakallahul adzimm..”

Aku menutup kajianku. Matahari sudah mulai bersinar terang. Aku harus segera bersiap-siap untuk kuliah. Setelah melepas mukena dan membersihkan tempat tidur, sebuah pesan singkat masuk.

“Dek, suami ayuk sudah meninggal”. Bunyi pesan tersebut singkat.

Sontak aku terkejut. Aku menuliskan nama pada nomor ini adalaha “donor”. Karena aku lupa siapa namanya, dan beliau adalah salah satu orang yang meminta bantuan terhadap relawan kami untuk donor darah bagi suaminya.

Pertanyaan bertubu-tubi menghampiriku. Kapan Bapak meninggal? jam berapa? dimana rumahnya? jam berapa ia dikubur?

Sementara itu aku berusaha mengetik pesan singkat dengan tenang.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’inn.. Jam berapa bapak meninggal, Yuk?”, tanyaku.

Lama menunggu.. tak ada balasan.

Tak terasa air mataku jatuh. Aku menangis. Sesal menyelusup di dada. Bapak ini meninggal sementara aku belum sempat menjenguk dan melihatnya secara langsung.

Kala itu, aku sedang membalas chatan di grup. Namun ketika sedang asik mengobrol dengan teman-teman, salah satu rekan yang lain menyebarkan info tentang seseorang yang membutuhkan pertolongan darah dan dana karena penyakit ginjal. Namanya adalah Pak Iwan. Tertera juga disana No. Hp Istri beliau untuk dihubungi. Pak Iwan membutuhkan golongan darah O. Aku berfikir barangkali aku bisa membantu karena kebetulan golongan darah kami sama. Namun, ternyata Allah  berkehendak lain. Hemoglobin darah ku rendah. Apalagi semalam aku begadang. Sangat tidak memungkinkan untuk donor darah.

Tidak hanya sebatas itu, aku berinisiatif untuk mengadakan penggalangan dana. Lalu aku menghubungi teman-teman untuk project tersebut. Tak ketinggalan juga meminta izin kepada istri Pak Iwan untuk penggalangan dana. Dan tentu saja beliau menyambut dengan senang hati. Namun, lagi-lagi aku gagal membantu. Karena memang waktu itu berdekatan dengan jadwal ujian akhir. Setelah ujian semua libur. Aku merasa bersalah. Namun, juga tidak bisa memaksakan kehendak karena aku tidak mungkin bisa bergerak sendiri tanpa bantuan dari teman-teman.

Waktu terus berjalan. Aku sejenak melupakan keluarga Pak Iwan. Tentang beliau yang membutuhkan pertolongan. Hingga akhirnya liburan usai dan kami kembali kuliah seperti biasa. Lagi-lagi Allah memanggilku agar membantu saudara yang membutuhkan.

Pagi itu sebuah pesan singkat masuk.

“Assalamualaikum dek, ini Ayuk Yeni dek, yang kemaren minta bantuan donor. Ayuk mau minta tolong lagi”, demikian bunyi pesan tersebut.

Aku berusaha mengingat. Tertulis disana nama kontaknya donor. Ooo iyaa yaaa.. aku baru ingat sekarang. Ini yang dulu aku pernah mau bantu galang dana tapi nggak jadi. Aku memang nggak memberi nama di hp ku. Aku hanya menuliskan namanya “donor”.

“Waalaikumussalam. Owh.. iya Yuk, apa kabar Bapak yuk? Ada yang bisa kami bantu?”, jawabku segera.

Aku memang memanggil nya dengan sebutan “Ayuk”, meskipun pada suaminya memanggil Bapak. Karena ketika aku menelpon beliau dahulu suaranya masih kayak muda banget.

“Suami ayuk mau cuci darah, Dek. Namun kami tidak punya kendaraan. Mau sewa angkot kami lagi kekurangan dana”, tutur beliau

“Owh, iya, Yuk. Aku coba bantu cari kendaraan dulu ya yuk. Nanti kalau udah ada ketemu aku hubungi ayuk lagi”, jawabku

“Iya Dek, makasih ya dek”

“Sama-sama, Yuk”, tutupku

Lalu kemudian aku berusaha mencari bantuan. Hubungi pihak-pihak yang kiranya punya mobil operasional untuk membantu. Namun ternyata mobilnya lagi di pake. Hingga akhirnya aku menghubungi Mbak Safwa. Seorang wanita muda yang memiliki jiwa empati yang tinggi. Akhirnya beliau menghubungi Ayahnya dan dengan sukarela juga Ayah Mbak Shafwa mau mengantar pak Iwan dengan mobil pribadinya.

Iyaa.. ketika aku itu aku masih belum bisa menemani Mbak Shafwa dan ayah Mbak Shafwa mengantar Pak Iwan. Karena saat itu lagi ada jam kuliah. Aku hanya mampu  menjadi penghubung antara mereka.

Begitu terus berlanjut. Hingga akhirnya urusan antar jemput pak Iwan cuci darah, kami yang tanggung jawab antar jemput. Dan mobil operasional salah satu relawan kemanusiaan juga turun tangan membantu. Pak Iwan menjadi ladang dakwah bagi relawan ini. meski kadang tidak selalu bisa mengantar, namun Bang Ari, yang bertanggung jawab terhadap relawan tersebut memberi ongkos untuk sewa angkot antar jemput Pak Iwan.

Sudah tak terhitung lagi sudah berapa kali Pak Iwan cuci darah. Cuci darah yang dilakukan setiap hari sabtu tiap minggunya. Aku masih belum berkunjung ke rumah beliau. Aku hanya mendengar cerita dari Mbak Shafwa saja bahwa Pak Iwan ternyata juga punya kelainan lain. Kakinya tidak bisa jalan. Dan sudah cukup lama juga terkena penyakit ginjal ini. Pak Iwan dikaruniai 2 orang anak wanita. Yang sulung berumur 5 tahun sementara si bungsu masih bayi belum nyampai setahun. Beruntung, beliau dikaruniai seorang istri yang penyabar dan ikhlas merawatnya.

Dari penuturan mbak Shafwa juga aku tau bahwa istrinya tidak pernah mengeluh. Selalu sabar menghadapi suaminya yang sakit. Selalu tersenyum. Dan tidak menampakan kesedihan di depan orang lain.

Hingga pada akhirnya Pak Iwan tiada. Dan aku ikut serta melayat di rumah duka, kali itulah aku tau istri Pak Iwan dan keluarganya. Istrinya masih terlihat muda. Ia tetap melukis senyum meski hati di rundung duka. Seakan ia sudah terbiasa menghadapi ujian di dalam hidupnya hingga tiada terasa lagi kepahitan itu ia rasa. Dan di pelayatan juga kami sempat mengobrol tentang keluarga mereka. Tentang pekerjaan, anak-anaknya, dan hal lain.

Iyaa.. mungkin banyak keluarga yang seperti ini. meski tak bernasib sama, namun tetap punya masalah masing-masing dalam hidupnya. Hanya saja kita tidak tau. Mereka yang senantiasa sabar dalam mengarungi samudra kehidupan. Senantiasa setia didalam ketidakberdayaan. Selalu berkhidmat meski air mata meleleh pasrah. Bersembunyi di balik keheningan malam.

Selamat jalan Pak Iwan, semoga semua amal ibadahmu di terima oleh Allah dan keluarga mu yang kau tinggalkan senantiasa diberi kesabaran dan kemudahan dalam menjalani hidup ini. Aaminn..

8 komentar

  1. aamiin
    bahagianya pak Iwan, punya isteri sholehah seperti itu ya. tak semua wanita sanggup sabar seperti itu lho

    BalasHapus
  2. Pak Iwan, salam ya dari pak solihin, suami saya

    BalasHapus
  3. Menjadi istri sholeha kayak istrinya pak Iwan emang sulit. Tapi pahala dan keberkahannya itu tak terhingga.

    BalasHapus
  4. Tetap tenang meski kehilangan ya dek. Susah pasti. Tapi istri Pak Iwan ini sepertinya hatinya begitu lapang. :')

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar yang baik-baik ya teman-teman. :-)

I'm Part Of:

I'm Part Of: