Ketika Kisah Lama Menyapa


Aku benar-benar tak menyangka, kisah ini kembali hadir. Kisah yang telah lama aku tutup dalam lembaran hati yang pernah singgah. Dadaku sesak. Semua kisah lalu itu kembali hadir dalam ingatanku. Tak mampu aku menahan hati untuk tidak bergemuruh. Lukaku kembali menganga.  Dia yang telah membuat luka itu kini kembali hadir dalam kedok rindu.

Dia kembali menyapa pagiku yang hangat. Iya.. Pagiku yang hangat kini sudah tidak lagi hangat. Bahkan sudah memanas. Rasa muak,  benci,  kasihan, rindu, bercampur jadi satu dalam semayam masa lalu. Ia kembali hadir. Ingatanku melayang ketika aku dahulu memutuskan untuk pergi. Meninggalkannya dengan sejuta harapan kepadaku namun tanpa memberiku kepastian. Kurasa itu hanya kesia-siaan.

"Kalau kamu memang sayang, setelah kita sama-sama tamat kita menikah ya." aku menanyakan kepastian untuk sebuah hubungan yang sudah kami jalin berdua. Sebuah hubungan yang terjalin tanpa sengaja.

Namun dia tidak merespons. Dia hanya diam tanpa suara.

"Kamu mau kan?", aku kembali bertanya. Berharap tiada jawaban lain selain kata iya.

"Tidak bisa,  Dil! ", jawabnya mantap. Aku menatap. Namun ia memalingkan wajah tak mau balik menatapku.

"Kenapa? Soal pekerjaan?  Tenang saja. Kita akan memulai semuanya dari 0. Bukan cuma kamu,  tapi aku juga akan bekerja. Aku akan membantumu melewati apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita. Aku akan menerimamu apa adanya. Tidak usah khawatir", aku berusaha meyakinkan ya.

"Tidak. Bukan itu", jawabnya lagi.

"Lalu? ", aku bertanya tak sabar

"Aku memiliki seorang adik yang saat ini sekolah SMP.  Aku harus bekerja dahulu, aku akan membiayainya menggantikan posisi ibu,  aku tidak ingin ibu terus bekerja demi sekolah kami dan setelah tamat,  itulah saatnya aku berbakti dan membalas semua jasa-jasa ibu." jelasnya

"Bagaimana dengan aku dan hubungan kita?" aku bertanya lebih lanjut.

"Aku ingin pernikahanku nanti aku sendiri yang membiayai, Dil.  Jadi aku harus mengumpulkan uangnya dahulu.  Membuka usaha, misalkan. Aku tidak ingin ibu justru kembali terbebani saat nanti menikahkan aku. Cukuplah selama menguliahkan aku saja ibu berhutang kepada tetangga dan karib kerabat.", ia kembali menjelaskan.

"Dila, jika kamu benar-benar ingin menikah segera setelah tamat kuliah. Aku takkan memaksamu untuk terus bersamaku. Aku tak ingin mengikatmu dalam hubungan kita. Tak ada sesuatu yang menjamin hubungan kita. Kamu punya hak dan kendali atas dirimu sendiri. Kamu bebas menentukan langkah". Lanjutnya.

Aku menatapnya seakan tak percaya. Semudah itu ia mengatakan semua, meski apa yang ia sampaikan itu benar adanya. Tapi aku tidak bisa menerima. Kami saling mencintai. Dia mengatakan itu disaat aku sedang sayang-sayangnya kepada dia. Kenapa dia tidak mengungkapkan sebuah kata-kata perjuanganya sebagaimana ia berjuang menaklukkan hati ku sebelum aku benar-benar jatuh cinta.

Kecewa, itulah rasa yang aku rasa. Ibu terus mendesakku untuk segera menikah.

"Setelah tamat kamu nikah ya nak.. Biar hati ibu lega. Setidaknya anak satu-satunya ibu ini sudah memiliki pendamping yang akan selalu melinduingnya jika ibu sudah tai nanti. Jika kamu belum ada calon, tenang saja.  Anak teman-teman ibu yang masih bujangan masih banyak tuch.  Dan siap untuk menikah". Itulah kata-kata yang pernah ibu katakan padaku.

Dan setelah Fadil mengatakan bahwa ia tidak bisa menikahiku ketika tamat dan tidak mmberi kepastian kapan ia akan melakukan itu,  komunikasi kami menjadi terganggu. Aku enggan menghubunginya. Dan dia juga mungkin sungkan untuk menghubungi. Hingga akhirnya aku mulai berbicara lebih dahulu kepadanya. Mengatakan bahwa aku akan pergi jauh dari kehidupanya. Aku memintanya untuk tidak menghubungi dan mencariku lagi. Yaa..  Kata-kata itu aku ketik dalam sms yang panjang. Penuh perasaan. Dengan berat hati aku mengatakanya.  Aku benar-benar menghilang. Meski setengah hatiku tertinggal pada Fadil.

Kami 1 kampus. Meski aku sudah pindah kostan, tetap pernah sekali dua kali kami berpapasan di jalan. Dan aku segera mengalihkn pandangan jika kebetulan kami saling bertatap muka.  Namun jika hanya aku yang kebetuln melihatnya, maka aku memilih untuk menghindar atau bersembunyi kalau bisa. Aku tidak ingin ia melihatku.

Dan ketika sedang membuka email di hp ku, ada pesan masuk di whatsapp. Nomor baru. Aku menjawab salamnya dan menanyakan ia siapa. Ternyata dia adalah Fadil.  Tentu saja aku terkejut. Darimana dia dapat nomor hp ku?  Ah itu pertanyaan bodoh.  Gampang sekali jika ia ingin menghubungi ku. Karena kami memiliki beberapa teman yang sama dan tentu menyimpan nomor hp kami berdua. Ia hanya tinggal minta atau mengambil no hp ku secara diam-diam lalu menghubungiku. Ahh.. Aku tidak menyangka ia kembali hadir setelah lebih dari 1 tahun kami tidak ada lagi komunikasi. Dan aku sudah tidak lagi menjalin hubungan yang spesial dengan siapapun.  Semua orang yang menyukai atau memberi kode kepadaku, aku anggap ia hanyalah teman atau kakak semata.  Toh Ibu juga tidak mendesak dan menanyaiku ku lagi tentang menikah. Belum ada apa yang membuat hatiku tertarik.  Atau mungkin karena aku belum bisa move on dari Fadil.  Ntahlah..

Berungkali ia mengirim pesan kepadaku.  Ada apa dengan dia??  Aku tidak suka ini.  Aku membenci sesuatu padahal sesungguhnya aku menyukai itu. Apalagi akhir-akhir ini dia sering kali menanyai kabarku dan menitipkan salam kepada Ando.  Teman kami.

"Hey",

1 pesan dari nomor baru masuk.  Aku tau itu nomor whatsapp Fadil.  Aku sengaja tidak menyimpanya meski berungkali juga ia memintaku untuk menyimpan nomornya. Aku tau ia memintaku untuk menyimpan no hp nya agar ia bisa melihat status WA ku. Karena untuk bisa melihat status/snap wa teman kita, maka keduanya harus saling menyimpan nomor masing2. Aku tidak mau. Aku memilih untuk menutup diriku dari Fadil setutup mungkin. Aku tidak ingin kisah itu terulang. Berungkali aku menanyai hatiku. Apakah aku benci? Tidak!! Aku tidak benci. Hanya saja aku tidak terima.

"Kenapa? ", tanyaku.

"Oh tidak..  Cuma mau test kontak aja", aku tau dia bukan cuma test kontak.  Dia ingin tau kabar ku atau lebih dari  itu,  ingin chat lama-lama denganku. Sementara selama ini aku hanya balas pesan nya singkat-singkat saja. Bahkan 1 jam atau parahnya berhari-hari setelah dia chat baru aku balas.

"Perasaan test kontak terus", aku to the point.

"Hmm..", hanya kata hm yang ia jawab. Aku fikir ia kebingungan mau jawab apa.

"Ada yang mau kamu omongin, Dil? " tanyaku lagi. Kami memang memiliki panggilan singkat yang sama. Aku Dila dan dia Fadil. Sama-sama dipanggil “Dil”.

"Tak bisa dibohongi bahwa hati ini rindu", jawabnya jujur.

Glek..  Hatiku berdesir.  Ah Ya Allah.. kenapa dia mengungkapkannya?  Mataku berkaca.  Aku yakin dia masih mengharapkanku meski tidak bisa menjanjikan apapun kepadaku. Apakah ia tau yang dibutuhkan wanita itu cuma 1. Kepastian. Dan dia tidak memiliki itu. Hati ku gamang. Aku harus jawab apa. Apakah aku juga rindu? Tidak. Aku tidak rindu. Aku tidak bohong. Aku memang tidak merindukanya. Aku hanya rindu kenangan kami dahulu. Oh. Padahal sama saja.

"Kamu belum melupakan aku ya?", kata-kata itu lah yang akhirnya aku ketikkan pada keyboard.

"Maaf", katanya singkat.

"Aku yang minta maaf, kamu tidak berhak merindukanku. Kisah kita sudah usai. Lupakan aku.  Lakukan apa saja yang membuat kamu lupa akan aku. Termasuk menghapus kontak ku.  Yakinlah suatu saat nanti kita akan diberikan yang terbaik oleh Allah.  Sebagaimana dulu kamu bilang tidak ada jaminan untuk hubungan kita, maka aku juga tidak menjamin hatiku akan kembali mencintaimu". Aku mengatakan itu dengan tegas. Berharap ia segera mengerti akan maksudku.

"Semua itu sudah aku lakukan.  Tapi semua itu tidak sesuai realita”, katanya.

Ahhh..  Kamu,  kembali mengoyak hatiku dengan pernyataan baru mu.

"Sudahlah.  Jangan buat luka hatiku lagi.  LUPAKAN AKU!", Aku menutup chat pagi ini dengan hati yang ntahlah bagaimana. Ada rasa sedih disana. Aku sengaja menulis kata "LUPAKAN AKU" dengan huruf besar semua sebagai bentuk tekanan dari kata tersebut. Dengan segera aku memblokir no hp nya. Aku tidak ingin ia menghubungiku lagi.

Maaf Fadil jika ini terlalu kejam. Kamu yang lebih dahulu kejam dahulunya kepadaku. Kamu membuat keputusan disaat aku lagi sayangnya. Hingga akhinya aku memilih pergi. Dan kini ia kembali hadir. Apa yang ingun ia tawarkan. Jika saja ia kembali hadir dengan mengatakan bahwa ia akan segera menikahiku, maka aku pasti akan menyambutnya. Tapi itu tidak mungkin. Karena aku yakin keputusanya dulu masih sama. Aku sangat menghargai itu.  Keputusan bahwa ia akan mengabdi terlebih dahulu kepada ibunya. Dan menyekolahkan adeknya.  Tapi kenapa???  Kenapa ia hadir lagi??  Ia datang untuk mengatakan rindu. Tidak ada gunanya mengatakan rindu itu sekarang.  Aku tidak butuh itu, Fadil!!.. Kau membuatku kembali mengenang kisah lama yang harusny sudah lama pula aku muntahkan.


baca juga: Sore Bersama Bapak

6 komentar

Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar yang baik-baik ya teman-teman. :-)

I'm Part Of:

I'm Part Of: