Farewell part 3


Adinda

Matahari belum terlalu menampakkan wajahnya, sementara suara ayam sudah ramai berkokok membangunkan tuannya, atau bahkan minta dibukakan pintu keluar dari kandang untuk mencari makan. Ayah Adinda telah berangkat kerja terlebih dahulu, mencari modal untuk menyambung hidup. Atau mungkin mencari kegiatan sebagai pengusir sepi dan segala rasa kesalnya kepada sang mantan istri. Sekarang Adinda dan Ayahnya telah tinggal jauh dari Isna dan Ibunya. Ia pergi ke sebuah desa pedalaman atas ajakan dari teman Ayahnya Adinda dan Isna. Om Remo.

Sementara Adinda, ia sudah terbiasa ditinggal kerja oleh Ayahnya. Dan bahkan ia pun seekarang terbiasa mencari barang bekas keliling kompleks untuk sekadar mendapatkan uang jajan.

“Kak, kita kemana lagi mencari barang bekasnya?” Tanya Adinda kepada Randa yang menjadi teman bermain sekompleksnya.

“Kita cari di ujung, yookk.. kan kemaren kita belum kesana”, jawab Randa sambil menunjuk sebuah tempat dengan suara air yang deras.

“Tapi kan disana sungai kak, mana ada barang bekas disana, yang ada kita mandi nanti”, jawab Adinda mengelak. Karena kemaren, ketika mereka mencari barang bekas, Randa malah mengajaknya mencari siput yang berakhir dengan basah-basahan lalu mandi.

“Hehee.. nggak koq, oya, disana ada pohon buah jambu warna pink. Nanti kakak panjatin buat kamu. Kamu pasti suka, kan?”

“Yaudah, kalo maksa”, jawab Adinda tertawa.

Mereka kemudian pergi ke tempat yang tadi ditunjuk oleh Randa. Kali ini mereka hanya berdua. Biasanya mereka bertiga dengan Rina, kakaknya Randa. Tapi Rina hari ini pergi bersama ibunya ke rumah Bibi.

Tak lama kemudian mereka sampai. Setelah dapat sedikit  barang bekas berupa botol akua dan sepatu karet, ditambah lagi besi-besi kecil, mereka akhirnya sampai dibawah pohon jambu. Randa memanjatnya. Tapi Adinda yang tak mau diam akhirnya ikut memanjat. Padahal umur mereka belum sampai 7 tahun. Tapi sudah berani saja memanjat. Jarak umur Randa dan Adinda hanya 2 bulan saja. Namun tubuh Randa jauh lebih subur ketimbang Adinda.

“Kak, tolong ambilin itu yang di ujung itu”, Adinda meminta Randa mengambil buah Jambu yang sudah kelihatan masak.

Tanpa menjawab, Randa dengan cekatan langsung mengambilnya untuk Adinda.

Setelah merasa puas makan buah jambu di pinggir sungai yang subur, mereka perlahan turun. Namanya juga anak-anak, mereka tidak langsung pulang. Adinda menemukan kotak rokok lalu mengambil kertas berwarna emas di dalamnya, lalu dengan kreatif ia mempelintir kertas rokok itu lalu dijadikanlah olehnya berupa gelang, kalung, cincin. Mereka bermain seolah-olah lagi jualan emas perhiasan.

Ketika asik bermain, Adinda teringat kunci rumah yang tadi ia tarok di saku celananya, namun tatkala ia meraba, ia tak menemukan apa-apa selain saku celana yang kosong. Lalu ia membongkar tas isi barang bekasnya. Namun tak ditemukan juga. Lalu Adinda dan Randa terus mencari hingga ke sungai. Namun tak juga bertemu. Adinda menangis. Ia sangat takut ayahnya marah. Akhirnya mereka pulang. Adinda masih menangis dan Randa berusaha membujuknya. Namun tak juga membuat tangis Adinda berhenti.

Mereka menuju pulang. Menyerah karena tidak menemukan kunci. Adinda masih dalam tangis kecemasanya. Waktu telah menunjukkan sore, Adinda tidak mau diajak ke rumah Randa. Ia akan menunggu ayahnya pulang di depan pintu rumah.

Tak lama ayahnya pulang, Adinda menangis lalu memeluk ayahnya langsung.

“Loh, Anak gadis kecil ayah kenapa nangis?”, Tanya ayahnya dengan lembut. Beda sekali dengan perlakuanya kepada ibu Adinda yang kasar.

Dengan sesunggukan Adinda mengatakan kunci rumah hilang. Dia takut ayahnya marah. Sebenarnya Ayahnya memang ingin marah. Karena itu adalah kunci satu-satunya yang belum sempat di duplikat. Namun demi melihat Adinda yang seperti itu, ia tak tega.

“Yasudah.. ayah nggak marah koq, lain kali hati-hati ya. Itu kunci kita satu-satunya”, Ayah Adinda menenangkan.

Adinda hanya mengagguk. Kemudian Ayahnya mencari batu lalu membuka kuncinya dengan paksa. pintu pun terbuka.

Setelah masuk ke rumah, Ayahnya bilang. “Nanti malam kita ke rumah Om Remo ya, Dek, ada Adek Hilma juga disana”.

Hah?? Ada adek Hilma? Adinda terkejut. Kalau ada Hilma berarti ada Tante Indah. Tante yang kemaren mengantarkan nasi ke rumah. Tante Indah memang baik. Tapi Adinda tidak suka. Ia takut Tante Indah merebut Ayah dari Ibunya. 

“Nggak mau!”, jawab Adinda ketus.

“Loh, Kenapa? Kan kamu bisa main sama Dek Hilma. Udah lama nggak main sama dia kan?”, Ayahnya membujuk.

“Pokoknya nggak mau!!”, Adinda kemudian langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Ia kembali menangis. Bukan tangisan takut lagi. Tapi tangis Rindu. Ia rindu kepada Ibu dan Kak Isna. Keterjagaan ia di tengah malam dalam gendongan Ayah masih belum sanggup ia pahami.

Bersambung

15 komentar

  1. Lanjut..
    ini serial baru ya? rasanya kemarin pas mampir kesini beda deh

    BalasHapus
  2. Yaaah, bersambung neng, lama lagiii

    BalasHapus
  3. jadi ingat SD, aku dulu ikut teman mulung lho demi jajan hehe...ketahuan sama kakek, jadinya dikejar kakek sampai dapat terus disuruh pulang :D sambil diomelin

    BalasHapus
  4. Saya suka main ke sungai dan manjat pohon jambu..sewaktu kecil..haha

    BalasHapus
  5. Lanjuuuttt dek :D
    Penasaran kelanjutan ceritanyaaa

    BalasHapus
  6. wah, bersambung nih. penasaran sama Adinda nih kapan update nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditungguin aja y mbx ..Insyllah 2 minggu skali. .

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar yang baik-baik ya teman-teman. :-)

I'm Part Of:

I'm Part Of: